Postingan

Menampilkan postingan dari Januari, 2008

Kebijakan Mengatasi ancaman Global

Globalisasi, di satu pihak memberikan manfaat yang luar biasa namun di sisi lain muncul berbagai ancaman diberbagai bidang kehidupan. Secara ideologis, pandangan liberalisme, sosial demokrasi dan radikalisme keagamaan muncul sebagai akibat dari perang urat syaraf hegemoni barat dan budaya timur. Masyarakat bawah --Gras root-- merasa bahwa dirinya seakan diombang-ambing oleh sesuatu yang tidak pernah ia pahami. Ini ada apa sih? masa bodoh dengan permasalahan yang membingungkan yang penting perut kenyang. Ekonomi, ya... pada akhirnya alasan ekonomi menjadi salah satu akar permasalahan dari sekian permasalahan yang harus dibenahi SBY. Secara globalpun ekonomi menjadi pembahasan yang tak habis-habisnya hingga menjadi komoditas politik. Lihat saja bidang energi, hingga saat ini harga minyak bumi mencapai 100 U$ per barel menjadikan konsidi politik global memanas, AS dengan segala propagandanya meninvasi Irak untuk membebaskan rakyat irak dari penguasa lalim, demikian AS menjustifikasi dirin

Optimisme Bersyarat 2008

A Tony Prasetiantono Peneliti Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM; Chief Economist BNI Kompas, Senin 14 Januari 2008 Dinamika eksternal telah memberi banyak aksentuasi pada perekonomian 2007 dan diperkirakan masih akan berlanjut pada 2008. Gejolak perekonomian suatu negara besar kini kian cepat ditransmisikan ke seluruh dunia karena pada dasarnya "dunia sudah mendatar"—sebagaimana tesis Thomas L Friedman (The World is Flat, 2005). Kasus krisis subprime mortgage mendemonstrasikan, betapa integrasi ekonomi dalam perekonomian global bisa membawa volatilitas yang lebih lebar, yang berpotensi memperlebar jurang ketidakmerataan ekonomi antarnegara, sebagaimana sinyalemen Joseph E Stiglitz (Making Globalization Work, 2006: 292). Pada dasarnya, ada dua kejadian dalam perekonomian dunia yang masih berpotensi memberi dampak terhadap perekonomian Indonesia pada 2008. Pertama, harga minyak yang cenderung naik dan sulit diprediksi karena banyak faktor terlibat, baik obyektif (sup

Empat Resolusi Kesejahteraan 2008

Tata Mustasya Kompas, Selasa 15 Januari 2008 Mengawali tahun 2008 dan tahun ke-4 masa jabatannya, menjadi hal penting bagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menyusun semacam "Resolusi Kesejahteraan 2008". Sebuah catatan target—sifatnya informal—tentang kesejahteraan yang ringkas, definitif, dan mampu dilaksanakan. Andai berkesempatan memberi saran bagi Presiden Yudhoyono, berikut poin-poin yang seharusnya ada pada resolusi itu. Pertama, mengevaluasi dan mengganti beberapa menteri bidang kesejahteraan rakyat dan ekonomi yang berkinerja buruk. Masih ada 20 bulan sebelum Pemilihan Presiden 2009. Jim Collins dalam buku Good to Great menjelaskan, mengapa kinerja Pemerintahan Yudhoyono-Kalla di bidang kesejahteraan jauh dari memuaskan. Data buku itu menunjukkan, salah satu kunci sukses berbagai perusahaan untuk melompat dari bagus (good) menjadi besar (great) adalah penerapan prinsip first who, then what. Pertama, pilih orang yang tepat, baru strategi dan kebijakan. Prinsip i

Kesadaran Publik

Langkah demi langkah telah ditapaki, ada suka ada duka berlalu sedikit demi sedikit, meski luka hati dan perasaan atas kebijakan publik tidak mudah untuk diobati masyarakatpun akhirnya tau akan dirinya sendiri. Dari lubuk hati yang paling dalam ada jeritan yang tak terpana manakala pemerintah mengurang subsidi BBM. sangat menusuk sampai ke ulu hati, demikian ekonom kita Faisal Basri mengungkapkan kegetiran publik atas kebijakan pemerintah yang demikian menjerat. Januari ini, publik kembali terkena pukulan dari kelangkaan gas dan minyak tanah dengan tiba-tiba, harga kebutuhan pokok mulai merangkak naik sampai-sampai produsen tahu dan tempepun mau berdemonstrasi ke Istana. Ada apa ini, kenapa harus ke Istana segala untuk meneriakan jeritan hati. Yah.. publik sekarang telah tersadar meskipun salah alamat, namun mereka menyadari bahwa di Istana ada seorang bapak yang diharapkan dapat memberi pencerahan dan jawaban atas keluh kesah mereka. Tidak mudah membangun kesadaran publik yang telah t